Cara Mendidik Anak Dengan Keteladanan

"Dan aku (Yusuf) mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi kami para Nabi mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia seluruhnya, tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri-Nya." [Q.S. Yusuf: 38]

Melalui ayat di atas, kita akan kembali mengupas kisah kehidupan Nabi Yusuf, yang di dalam Al-Qur'an disebut sebagai Ahsanul Qashashi, yaitu kisah terbaik. Bukan hanya karena plotnya yang meliuk-liuk, dramatis, dan mengharu-biru, tetapi juga karena banyaknya nilai dan bermacam hikmah yang bisa kita ambil. Khusus ayat di atas, ada nilai-nilai ketauhidan dan retorika dakwah yang bisa kita ambil, tetapi kita ingin fokus pada penggalan pertama dari ayat tersebut yang menginspirasi kita betapa besar pengaruh keteladanan orang tua Nabi Yusuf pada dirinya.Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa beginilah kondisi orang yang mengikuti jalan petunjuk, mengikuti teladan para Nabi, berpaling dari jalan orang-orang zalim, maka itu memberinya petunjuk dan mengajarinya apa yang tidak ia tahu, serta menjadikannya pemimpin yang diteladani.

Dalam kisah-kisah yang disebutkan Al-Qur'an, tentu kita terkagum dengan kesalehan dan kematangan jiwa Nabi Yusuf dalam menghadapi berbagai masalah hidup yang pelik. Dari ia dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya, ditemukan kafilah dagang dan dijual, dipungut keluarga kerajaan, kegemilangannya menjadi menteri keuangan, digoda istri raja dan ia menolaknya, lalu dipenjara dan berdakwah kepada narapidana, hingga kelonggaran hatinya saat bertemu saudara-saudaranya kembali.

Pertanyaannya, bagaimana bisa Yusuf muda mempunyai karakter dan ketangguhan iman seperti itu? Padahal sebagaimana dinukil Ibnu Katsir, Nabi Yusuf itu terpisah dari orang tuanya pada usia 17 tahun. Setelah itu, selama 80 tahun ia hidup dalam lingkungan yang jauh dari nilai tauhid, bahkan bergelimang syirik (Al-Bidayah wa An-Nibayab: 1/366). Jawabannya, tentu selain taufik dari Allah Ta'ala, itu adalah buah dari efektivitas tarbiyah (pendidikan) yang diberikan ayahnya, Nabi Ya'qub, dalam rentang waktu yang tidak lama, yaitu kurang lebih 17 tahun. Dalam ayat di atas disebutkan, bahwa keistikamahan Nabi Yusuf dalam bertauhid disebabkan karena mengikuti jejak leluhurnya.

Memori Qudwah Shalihah (teladan saleh) yang diberikan langsung oleh bapaknya, dan memori uswah hasanah (contoh baik) yang diceritakan turun-temurun tentang leluhurnya, yaitu Nabi Ibrahim dan Ishaq, menjadi pelindung yang kuat dari kotoran akidah dan polusi akhlak di sekitarnya. Dari sini bisa disimpulkan akan urgensi Uslubul Qudwah Ash-Sholibah (metode mendidik dengan keteladanan) yang sangat membekas pada akal dan sanubari anak-anak. Keputusan Allah Ta'ala untuk mengutus Rasul dari kalangan manusia (bukan dari malaikat) juga dalam rangka agar mudah ditiru dan diteladani dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dalam beribadah, berkeluarga, bermasyarakat, bernegara, berdagang, hingga cara masuk kamar mandi. Maka Allah menegaskan, "Sungguh ada pada diri Rasulullah contok yang baik..." [Q.S. A1-Ahzab: 21]

Rasulullah Muhammad Saw sendiri, dalam mendidik para sahabat juga menggunakan metode ampuh ini. Seperti saat Beliau ingin mengajari mereka salat, beliau bersabda, "Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat." [H.R. Ibnu Hibban]. Atau saat beliau ingin mengajari mereka berhaji, beliau bersabda, "Ambillah dariku cara manasik haji kalian." [H.R. Muslim] Berdasar beberapa poin di atas, sangat penting bagi para orang tua untuk menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Seperti pada Yusuf remaja, yang paling kuat melekat dalam benak seorang anak adalah memori keteladanan orang tua, karena ia adalah yang pertama dan tiap hari dilihatnya. Terutama bagi anak-anak dalam Marhalah Tasbih wa Taglid (fase meniru dan mengikuti). Di mana dalam fase itu, contoh nyata dari para orang tua akan jauh lebih membekas dan lebih mudah ditangkap anaknya, daripada sekadar nasihat.

Apalagi jika nasihat yang diberikan para orang tua itu tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan dalam kehidupan nyata. Itu bukan hanya tidak akan efektif, tetapi juga bisa menimbulkan apriori, dan yang bahaya bisa kena 'pasal' dalam ayat, "Wahai orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan? Besar kemurkaan dari Allah jika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian lakukan." [Q.S. Ash-Shaf: 2-3].

Oleh : Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA. Doktor Ushul Tarbiyah Universitas Islam Madinah Direktur PPTQ Ibnu Abbas
Sumber : Hadila Edisi 185
Foto : pexels-tatiana-syrikova